REGULASI KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG MEDIA CETAK II

 
Photo by Alfons Morales on Unsplash

Masa Orde Lama

     Pada tanggal 15 Agustus 1945 terjadinya penyerahan para pers serta pengambilan semua fasilitas percetakan surat kabar dari Jepang dan pers berupaya untuk bisa menerbitkan surat kabarnya sendiri. Di tanggal 6 September 194e tepatnya di Jakarta terbitnya surat kabar pertama dengan nama Berita Indonesia. Para era tersebut, Belanda maupun Jepang belum menarik diri sehingga memunculkan serangan balik pada propaganda anti Belanda sehingga Belanda pun ikut menerbitkan surat kabarnya pada waktu itu. Kemudian, pada tahun 1948 Indonesia menerbitkan 124 surat kabar dengan 405.000 eksemplar, namun terjadi pengurangan pada tahun 1949 menjadi 81 dengan jumlah tiras 283.000 eksemplar karena adanya Agresi Militer Belanda kedua pada Desember 1948. Pada era tersebut dunia internasional sudah mengakui Indonesia sebagai Negara yang merdeka serta berdaulat pada Desember 1949.
    Masyarakat tidak ingin tertinggal akan suatu berita tentang perkembangan negara yang baru saja merdeka dan diakui oleh negara-negara lain sehingga meningkatkan minat baca sehingga berdampak positif bagi para pengelola media cetak pada masa itu. Pada tahun 1946 di berlangsungnya kongres di Solo yang dilakukan oleh para wartawan. Pers pada masa itu dianggap saling membahu serta saling mendukung pemerintah, namun setelah para penjajah pergi para wartawan mulai kritis kepada pemerintah dan pada tahun 1956 di tanggal 28 Oktober, Soekarno mengajukan perubahan dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Soekarno juga meminta kepada para pes untuk tetap setia kepada Ideologi Nasakom serta memanfaatkan untuk mobilisasi rakyat, Soekarno juga melarang surat kabar yang menetangnya.

Masa Orde Baru

a. Awal Tangan Besi Legislatif 
        “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” merupakan isi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 mengenai prinsip dasar pers. Kemudian, terdapat juga bab 2 pasal 4 mengenai kebebasan pers tentang hak-hak dasar warga negara (pasal 5.1). Namun, selama masa peralihan surat kabar memiliki dua izin yang saling terkait, yaitu SIT (Surat Izin terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) dari Lembaga Keamanan Militer KOPKAMTIB.  
 
b. Gelombang Beredel 1970-an 
        Hubungan antara pemerintah dan pers diwarnai ketegangan tersembunyi. Pers masa itu berdiri bersama rakyat mengkritisi pemerintahan. Tak tinggal diam, pemerintah saat itu mengeluarkan ‘tangan besi’. Januari 1974 terjadi aksi demo  Malari (Malapetaka 15 Januari) di Jakarta akibat ketidak percayaan masyarakat terhadap sederet pemerintah. Dampaknya pada pers yakni 12 penerbit kehilangan SIC SIT dan ditahannya 470 orang.
 
c. Operasi Pencabutan Izin di Periode 1980-an
        Sejumlah publikasi, satu demi satu dilenyapkan oleh pemerintah. Contohnya Jurnal Ekuin yang dilenyapkan pemerintah  pada Mei 1983 karena menulis tulisan mengungkapkan penurunan harga dasar ekspor minyak oleh indonesia (Sen, K., & Hill, D. T. (2007). 
 
d. Bredel Anakronistis di Periode 1990-an 
        Pada era 90an terlihat harapan bagi pers Indonesia. Industri pers berkembang pesat. Namun, drama perbenturan pers dan pemerintah tak  hilang. 1994 menteri penerangan mencabut izin penerbitan 3 surat kabar: Tempo, Detik, Majalah Editor karena berani mengeluarkan berita tentang pelanggaran HAM, bisnis keluarga presiden, dsb. Adu nyali itu mengusik Presiden Soeharto, hingga pada 9 Juni ia mengungkapkan kemarahannya seputar izin media. Lembaga Pemerintahan dan Masa Industri di Masa Orde Baru. 
 
e. Lembaga Pemerintahan dan Badan Industri di Masa Orde Baru
1.  Departemen Penerangan dan SIUPP
     Pemegang otoritas untuk pers adalah menteri penerangan. Pada dasarnya, departemen penerangan dibentuk untuk menyelenggarakan penerangan dengan sarana media seperti mesin cetak, dsb. Hingga pada 1984, Presiden mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan RI tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Media (SIUPP). Peraturan Kementerian Penerangan RI no. 01/PER/MENPEN/1984 tentang SIUPP adalah surat izin yang diberikan Menteri Penerangan kepada usaha penerbitan agar terciptanya media yang sehat, bebas, bertanggung jawab, positif antar media dan pemerintah serta masyarakat berlandaskan kekeluargaan Anom, E. (2016). Ini jadi mimpi buruk jurnalis pada saat itu. 
 
2. Dewan Pers  
       Meski sudah memayungi beragam unit administratif dibawah dewan penerangan, pemerintah merasa harus mengatur pers lewat lembaga perantara yang disebut dewan pers. Dewan pers jadi pihak ke-3 yang digunakan bila memiliki kepentingan dengan organisasi pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dsb. Dewan Pers jadi pihak pertama yang dijumpai Departemen Penerangan bila ingin mengeluarkan SIUPP. Namun, dewan pers diisi oleh orang di bidang pemerintah juga seperti menteri penerangan, direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, dll. 
 
3. Persatuan Wartawan 
        Indonesia Peraturan Menteri Penerangan 1969 (No.02/PER/MENPEN/1969, bab 1 pasal 3) menyebutkan “Jurnalis Indonesia wajib menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia yang diresmikan pemerintah.” ini dapat diartikan bahwa komunitas ini jadi satu-satu komunitas legal oleh pemerintah saat itu. Tugas PWI adalah melindungi kaum pekerja dalam sengketa terhadap pemerintah, namun semakin lama tugas ini semakin dikesampingkan demi menyalurkan ekspresi “para kaum profesional” (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).
 
4.  Pembentukan Aliansi Jurnalisme Pers Indonesia (AJI)  
        7 Agustus 1994, sekitar 60 jurnalis berkumpul membentuk Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI). Diantara 60 jurnalis tersebut beberapa jurnalis terkenal juga bergabung didalamnya. Dengan mengeluarkan deklarasi Sirnagalih AJI memperkuat penolakan campur tangan, intimidasi dan pembredelan media dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan kebebasan berpendapat memperoleh informasi (Sen, K.,& Hill, DT (2007). 
 
f. Bangkitnya Pers di Masa Orde Baru
        Pada masa ini, terdapat peran pers mahasiswa dalam menjunjung hak dan martabat pers Indonesia. Pers mahasiswa memiliki gaya dengan keterampilan menulis dalam tata isi dan letak tulisan mereka. Pers mahasiswa pada saat itu juga dianggap tidak sesuai dengan pemerintah dan universitas. Tetapi masih bisa berdiri mengikuti politik pemerintahan. Deregulasi ekonomi dan desakan keterbukaan politik yang terjadi pada masa ini, membuat pers semakin kuat untuk menyuarakan permasalahan politik. Salah satu dampak ekonomi yang berdampak bagi pendangan pers adalah munculnya internet.

Masa Reformasi Sampai 2020

       Kebebasan pers pada masa ini hadir setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Muncullah UU No 40 Tahun 1999 tentang kemerdekaan pers sebagai upaya hukum untuk melindungi jurnalis dan mencabut SIUPP. Pers menjadi pemasok dan pemberi informasi yang akhirnya menjadi hal utama dalam menimbulkan sikap serta opini publik.
a. Lahirnya Media Alternatif
       Media alternatif berisi suara-suara kaum minoritas, terpinggirkan dan berbagai ekspresi masyarakat Indonesia dari berbagai macam sudut pandang. Karena itu, suara minoritas mulai didengar. Media massa seperti radio, televisi, koran, dan internet juga akhirnya semakin banyak digunakan.
b. Pers di Era Modern
        Pada masa ini internet menjadi hal yang penting karena dapat mewujudkan kebebasan pers. Media online semakin banyak muncul dan menarik perhatian masyarakat sehingga beralih dari media cetak ke media online. Pada masa ini, Indonesia masih menggunakan UU No. 40 tahun 1999 untuk mengatur kebebasan pers.
c. Tantangan dan contoh kasus
       Pada masa ini, pers di Indonesia masih dibatasi oleh pemerintah. Pada tahun 2013-2016 masih terdapat beberapa kasus pembungkaman pers, khususnya pembungkaman terhadap pers mahasiswa. Pada saat ini, kebebasan pers diharapkan menjadi sarana pendidikan. Tetapi demi sebuah keuntungan, pers menyajikan berita provokatif dan sensasional yang melanggar UU No 40 Tahun 1999 Pasal 3.


Komentar

Postingan Populer