KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG PENYIARAN I: RADIO

 

Photo by Maximilian Hofer on Unsplash

Kebijakan Penyiaran Radio di Masa Pemerintahan Belanda

        Perkumpulan siaran radio pertama di Indonesia terbentuk tanggal 6 Juni 1925 di Jakarta dengan nama ‘Bata viase Radio Vereniging’. Berdirinya BVR ini didukung wartawan dan pengusaha Belanda, sehingga terselip beberapa tujuan komersial, seperti propaganda, perusahaan serta perdagangan. BRV menggunakan bahasa Belanda. tempat penyiarannya berada di ruang hotel des Indes. Siaran radio berkembang dengan dipelopori BRV yang membuat Belanda membuat peraturan tentang penyiaran radio. Kemudian Solosche Radio Vereeniging (SRV), berdiri tanggal 1 April 1933 yang merupakan penyiaran milik pribumi pertama. Tahun 1934 “Radiowet” (Undang-undang radio) diresmikan. Penyelenggaraan siaran radio, NIROM mendapat kesempatan dari pemerintah Belanda untuk menyelenggarakan program lengkap dengan iuran pendengar 1.50 sebulan untuk tiap pesawat radio. Di masa pemerintahan Belanda kebijakan program siaran radio NIROM difokuskan pada siaran berbahasa Belanda lalu diperluas ke program ‘ketimuran’. Semenjak 1 Januari 1935 pemerintah telah mengisyaratkan akan memberi subsidi pada radio-radio siaran yang mengudarakan acara-acara ketimuran, tapi setahun kemudian ditetapkan kebijakan baru yang menyebut bahwa semua acara ketimuran akan diproduksi oleh NIROM II dan disiarkan dari stasiun di Surabaya. Beberapa kebijakan spesial pemerintah Belanda pada NIROM:
        Pertama memperoleh lisensi menyelenggarakan siaran dengan program lengkap dan kedua hak menerima luister bijdrage (iuran pendengaran).

Kebijakan Penyiaran Radio di Masa Pemerintahan Jepang

        Kedatangan Jepang tahun 1942 membuat Belanda cemas  sehingga memerintahkan semua fasilitas dihanguskan, termasuk SRV. Namun, jepang berhasil menghidupkannya kembali. Jepang membentuk Hoso Kanri Kyoku beserta Shidanso untuk mempersatukan semua bengkel reparasi radio dan penyegelan gelombang frekuensi radio. Hoso Kyoku menggunakan kebijakan siaran untuk menambahkan semangat Nippon dan mendorong masyarakat untuk mendukung Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Kebijakan jepang pada media massa cenderung represif. Radio jadi alat propaganda  dan pengendalian massa. Jepang membentuk Bunkaka untuk melakukan pengawasan serta sensor media massa. Konten siaran memiliki aturan yakni larangan menyiarkan lagu Belanda dan bahasa asing kecuali Jepang. Lalu, sensor ketat dan penyelenggaran pelajaran bahasa Jepang. Jepang juga mendirikan HODOHAN, badan sensor dengan tugas mendata kepemilikan radio dan melakukan penyegelan.

Perbedaan Kebijakan Radio di Masa Belanda dan Jepang

1. Kebijakan radio masa Belanda cenderung pilih kasih. NIROM diberi izin, sedangkan radio ketimuran tidak. Sementara kebijakan radio masa Jepang sifatnya lebih represif pada seluruh jaringan penyiaran radio.
2. Kebijakan radio masa Belanda cenderung lebih kejam. Sementara kebijakan masa Jepang hanya melarang penyiaran lagu Belanda, musik barat dan bahasa asing lain.
3. Kebijakan radio masa Belanda NIROM difokuskan pada siaran bahasa belanda dan diperluas dengan program ‘“ketimuran”. Semntara masa Jepang lebih radikal, karena sama sekali tidak memperbolehkan penyiaran dengan budaya lain.
4. Kebijakan radio masa Belanda belum ada lembaga/badan sensor radio. Sementara masa Jepang ada badan sensor radio dengan tugas mendata kepemilikan radio di masyarakat.


RRI Surakarta

        Pada saat kekalahan Jepang di Perang Dunia II, berita tersebut tidak pernah disiarkan tetapi warga Indonesia yang bekerja di bagian media massa mendapatkan akses berita dari siaran luar negeri. Tetapi, negosiasi Indonesia gagal dan akhirnya tidak mendapatkan pemancar siaran Hoso Kyoku. Akhirnya Maladi mengadakan pertemuan dengan pegawai Hoso Kyoku untuk mengenai berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI). Pertemuan itu menghasilkan sumpah setia pegawai RRI Surakarta di bawah bendera merah putih dan ditandatangani oleh seluruh pegawai. 1 Oktober 1945 Yasaki menyerahkan kekuasaan Hoso Kyoku Solo kepada Maladi. Pertempuran Surabaya menyebabkan nama RRI semakin dikenal dan dicintai masyarakat Indonesia karena dianggap dapat menyuarakan keinginan rakyat, kedaulatan, dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945. RRI berusaha suaranya terdengar sampai lingkup internasional. RRI juga melakukan berbagai pendekatan kepada radio-radio baru agar mau bergabung guna meningkatkan efektivitas radio siaran.


Kebijakan Penyiaran di Era Orde Lama

    Pada era ini, suasananya masih dengan suasana kemerdekaan, sehingga pemerintah tidak memberikan regulasi yang bersifat membatasi penyiaran Indonesia.


Kebijakan Penyiaran di Era Orde Baru

Tahapan regulasi yang diciptakan pada era ini:
  • Pembinaan yang diawali PP No. 55/1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah dengan lingkup pembinaan Direktorat Jenderal RTF yaitu bidang software yang menjadi syarat awal langkah pembinaan hardware.
  • Pembinaan software dilandasi Kepmenpan No. 39/1971 tentang Petunjuk Kebijaksanaan Penyelenggaraan Acara Siaran serta Isi Siaran Radio Siaran Non Pemerintah (RSNP).
  • Pengukuhan wadah penerimaan penyelenggara siaran radio non-pemerintah dan pembentukan organisasi Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) pada 17 Desember 1974 oleh pemerintah melalui Kepmenpan No. 242/1977 tanggal 8 Desember 1977.
  • Upaya penyempurnaan kualitas pembinaan dengan penerbitan Sk Menpen No. 226/Kep/Menpen/1984 tentang Penyempurnaan pasal-pasal dalam Kepmenpan No. 24/Kep/Menpen/1978.
  • Instruksi Dirjen RTF Nomor 01/Instr/Dirjen/RTF/1985 tanggal 1 Januari 1985 tentang Penyelenggaraan Siaran oleh Radio-Radio Siaran Non-RRI.
  • Edaran Direktur Jenderal RTF No. 175/RTF/K/11/1989 tanggal 11 Februari 1989 tentang Mekanisme Perizinan Radio Siaran Swasta. Dimaksudkan untuk menertibkan pelayanan perizinan agar masyarakat serta para penyelenggara RSS dapat mengetahui urutan persyaratan administratif yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Kebijakan Penyiaran Radio di Era Reformasi

    Terdapat perubahan yang baik setelah orde baru karena terdapat Lembaga Komisi Penyiaran yang mempunyai tugas untuk mengendalikan konten penyiaran yang dimana terdapat pada UU Penyiaran Nomor 23 Tahun 2002.  Meskipun begitu, KPI juga tetap dalam pengawasan pemerintah (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bagi KPI Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bagi KPI Daerah). Media penyiaran harus mempunyai fungsi untuk menjadi layanan informasi publik yang baik serta sehat, sehingga setelah terbentuknya UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 memberikan perubahan yang cukup besar bagi kebijakan serta regulasi pada sistem penyiaran di Indonesia. Contoh dari penyiaran publik ialah RRI atau Radio Republik Indonesia yang dimana lembaga penyiaran tersebut memiliki stasiun pusat di Jakarta. Lembaga tersebut juga didirikan di daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang bersifat lokal. Lembaga penyiaran swasta merupakan lembaga yang bersifat  yang dimana pada UU Penyiaranan Nomor 32 Tahun 2002 sehingga biasanya itu hanya bisa menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
    Lalu, pada lembaga penyiaran Komunitas harus mempunyai tujuan untuk mengembangkan  masyarakat untuk mencapai kesejahteraan melalui konten-konten.  Pada Lembaga Penyiaran Berlangganan sesuai dengan UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 ini merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia yang dimana hanya penyiaran berlangganan. Lembaga Penyiaran ini harus mempunyai stasiun pengendali serta pemancar siaran yang terletak di Indonesia dan mempunyai jaminan agar bisa diterima oleh para pelanggannya. Terdapat tiga jenis penyiaran pada lembaga ini, melalui satelit, kabel, dan gelombang radio/pemancar. 


Sistem Stasiun Jaringan (SSJ)

        Sistem Stasiun Jaringan pada saat itu hanya berpusat pada bidang penyiaran di radio, salah satunya seperti VORO Jakarta yang menerapkan SSJ yang bersifat hiburan dan Radio Ketimuran yang dimana menerapkan SSJ yang menyiarkan acara seperti, Siaran Pidato yang berisi kata-kata monolog atau talkshow yang dimana siarannya berisi tentang agama, pendidikan, kebudayaan, dll. Kemudian, pada Siaran Berita ialah Warta Berita salah satunya “Berita Soerat Chabar Bahasa Indonesia” dan yang terakhir Siaran Anak-Anak yang dimana selalu diputar pada sore hari dengan rata-rata 8 (delapan) kali dalam sebulan. Namun, pada saat ini tentu saja fokus dari SSJ semakin meluas dan berupaya untuk menjadi demokratisasi dalam bidang penyiaran sehingga bisa menjangkau berbagai macam siaran televisi nasional di seluruh Indonesia.

Komentar

Postingan Populer