REGULASI KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG MEDIA CETAK I

Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash

ERA PENDUDUKAN BELANDA

            Pada era ini, masyarakat di Indonesia masih belum memiliki latar belakang pendidikan serta ekonomi yang cukup untuk menerbitkan sebuah media. Media yang hadir di era ini berasal dari pemerintah kolonial Belanda yang menggunakan bahasa Belanda. Pada masa Gubernur Jenderal Van Imhoff tahun 1774, media pertama hadir di Indonesia. Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen berisikan aspirasi masyarakat Indonesia yang menentang kebijakan pemerintahan pada saat itu yang merupakan pemerintah Belanda. Edisi pertama dari media ini beredar pada 7 Agustus 1774. Tetapi dua tahun setelah beredarnya edisi pertama, media tersebut harus berhenti terbit karena adanya larangan.
            Pada awal abad ke 19, muncul media Bataviasche Kolonial Courant yang kemudian diganti menjadi media berbahasa Inggris Java Government Gazette pada pemerintahan Inggris. Tetapi setelah Belanda mendapatkan kembali daerah koloni Inggris, media ini kembali berganti namanya menjadi Javasche Courant yang berisi suara dari pemerintah Hindia Belanda. Seiring perkembangan media di era pemerintahan Belanda, terdapat rintangan dan halangannya. 

1. Undang undang Media Pemerintah Belanda
Terdapat 5 Periode kebijakan media di tahun 1906-1942:
  • 1906-1913: Bersifat bebas dan adanya pencabutan larangan dalam pencegahan barang cetak.
  • 1913-1918: Merasakan dampak kebebasan media serta terbentuknya Dewan Rakyat akibat kebebasan media.
  • 1918-1927: Media dibatasi serta pemberontakan Partai Komunis Indonesia untuk melawan kebijakan pemerintah Belanda terkait pembatasan kebebasan media.
  • 1927-1931: Pengaplikasian undang-undang penarikan izin terbit media.
  • 1931-1942: Puncak pencabutan izin media, pemerintah menguasai kebijakan kontrol media secara administrasi, hukum sosial, dan ekonomi
2. Kebijakan Kontrol Media Pemerintah Belanda
            Terdapat Undang Undang Hukum Pidana tahun 1918 yang berisikan kebijakan agar pergerakan media dapat dibatasi dari beberapa sarana diantaranya adalah sarana hukum untuk pencegahan, sarana ekonomi untuk penarikan cukai atas kertas dan iklan, sarana sosial yaitu propaganda, peringatan serta adanya kontrol dalam isi berita. Dalam kebijakan ini, terdapat wewenang pemerintah dalam mencabut izin media guna melindungi kesejahteraan umum. Wewenang tersebut terdapat di Undang Undang 1856 yang bersifat mencegah, Undan Undang 1906 yang bersifat menindas, dan Undang Undang Ordinan 1931 terkait kembalinya surat izin media dan pelaporan jumlah cetak media.

3. Persbreidel Ordonantie
            Adanya Persbreidel Ordonantie membuat Gubernur Jenderal De Graeff memiliki kekuasaan terkait larangan penerbitan, pencetakan, serta pengeluaran sebuah surat kabar ataupun majalah yang dianggap dapat merusak ketertiban dan ketentraman umum. 

ERA PENDUDUKAN JEPANG

            Ketika jepang menduduki Indonesia, menurut Kuwarsa (2015) dalam bukunya yang berjudul Kuasa Jepang di Jawa menyatakan bahwa pada masa itu, propaganda sangat gencar dilakukan dengan tujuan menyita hati dan pikiran rakyat serta menjinakkan rakyat untuk kepentingan mereka, sehingga rakyat bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan perang Asia Timur Raya. Oleh karena itu, pada saat itu dibentuklah departemen yang bertugas melakukan propaganda, dimana departemen ini dibagi lagi menjadi beberapa organisasi propaganda diantaranya radio, seni, teater, film, lagu dan organisasi penerbitan surat kabar bernama Jawa Shinbunkai yang diatur dalam Osamu Seire No.15 (Kuarsa,15). Dalam hal ini, Yuliati (2018) juga mengungkapkan pers dianggap sebagai medium yang pas untuk melaksanakan tujuan propaganda, sehingga pemerintah militer Jepang sangat ketat mengawasi perkembangan pers di Jawa. 

1. Pers masa pendudukan Jepang.
              Pada masa kedudukan Jepang, pers dikendalikan tentara militer jepang yang saat itu gencar melakukan propaganda dalam berbagai bentuk.  Anom (2016) menyatakan ada lima surat kabar yang saat itu diterbitkan jepang yaitu Asia Raya (Batavia), Tjahja (Bandung), Sinar Baru (Semarang), Sinar Matahari (Yogyakarta) dan Suara Asia (Surabaya). Majalah yang terbit tiap minggu bernama Ayu Shinbun dan surat kabar bernama Kung Yung Poa serta majalah bernama Djawa Baroe. Dalam penelitian Sholekah & Sasmita (2021) mengenai majalah Djawa Baroe menyatakan majalah tersebut dibentuk penggambaran tentang pendidikan, karya sastra dan seni keadaan sosial, serta militer di Indonesia yang baik, namun dalam majalah tersebut semua keadaan yang sebenarnya ini digambarkan sebaliknya.
            Hasil dikeluarkannya  kebijakan tersebut dapat dilihat melalui perkembangan media cetak di Indonesia  selama tiga tahun lamanya jepang menduduki Indonesia. Anom (2016) mengemukakan selain melihat bagaimana jepang memanfaatkan masyarakat Indonesia masa itu, juga dapat mengenal teknik penerbitan modern dan juga menikmati kemudahan alat komunikasi yang belum dinikmati sebelumnya. Pada masa ini, menurut Yuliati (2018) jepang mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan bahasa Belanda  dan ketetapan mengenai bahasa Indonesia  sebagai alat komunikasi resmi. Kebijakan ini membuat jurnalis Indonesia pada masa itu gencar menyuarakan kesadaran nasional.

2. Undang-Undang No. 16 Tahun 1942 tentang Landasan Kontrol Media.
            Kebijakan komunikasi media cetak saat ini dituangkan dalam UU No. 16 Tahun 1942 tentang landasan kontrol media yang dibentuk tanggal 25 Mei 1942. Swantono dalam Anom (2016) menyatakan, saat itu beberapa wilayah Indonesia dibagi dan ada dibawah kekuasaan militer Jepang. Hingga akhirnya mereka yang diberi kuasa atas wilayah Jawa-Madura mengeluarkan UU tersebut. Undang-undang ini terdiri dari dua pasal berisi sistem perizinan terbit dan larangan. Pasal 1 menyatakan segala jenis barang cetak perlu memiliki izin. Pasal 2 menyatakan penegasan larangan terhadap penerbitan yang merupakan anti-jepang. Dengan adanya kebijakan ini, banyak media Belanda dan China yang dulunya berjalan, diambil alih Jepang.
            Namun, yuliati (2018) mengungkapkan karena kekhawatiran terhadap musuhnya yang dapat memanfaatkan media komunikasi untuk mempengaruhi bangsa dan mengungkapkan bagaimana jepang memanfaatkan rakyat Indonesia dalam perang.

ERA PERGERAKAN KAUM NASIONALISME

            Kaum nasionalis ada dan bergerak untuk melawan bangsa yang menjajah wilayah tersebut. Seperti contohnya di indonesia juga terdapat kaum nasionalisme yang memiliki perjuangan untuk bisa melawan kolonialisme. Hal tersebut membutuhkan peran media juga tentunya, namun pada saat itu bisa dikatakan sulit karena media berada dibawah pengawasan para penjajah. Kaum nasionalis yang ada pun berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia dan salah satu kaum nasionalis tersebut adalah Sarekat Islam yang dimana lahir karena adanya suatu kepentingan dan media yang menaungi Sarekat Islam adalah Pantjaran Warta, Sinar Djawa, dan Saroetomo.
            Pada masa kolonialisme terdapat kurang lebih 33 media serta majalah yang memiliki bahasa Indonesia dan terdapat beberapa partai serta organisasi yang memiliki penertibannya sendiri, salah satunya adalah Partai Indonesia Raya dengan jumlah 11 penerbitan. namun, pada masa itu masih masa dalam penjajahan sehingga muncul Ordinan dari pemerintah Belanda karena mereka merasa bahwa media saat itu memberikan banyak ancaman bagi mereka. Ordinan tersebut membuat 27 media yang dimiliki oleh kaum nasionalis dimatikan selama 6 tahun yang dimulai dari tahun 1931-1936. Media yang ada pada saat itu bukan merupakan organisasi yang hanya mencari keuntungan semata, namun media juga tetap membutuhkan dana untuk bisa merealisasikan kegiatan yang mereka miliki. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer